METROPOST1.COM — Langkah hukum seperti apa yang dapat komisaris tempuh apabila ada indikasi penipuan/penggelapan terhadap perusahaan yang dilakukan oleh Direksi, yang menyebabkan kerugian perusahaan/pemegang saham dan apa hak komisaris/pemegang saham.
Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa Penipuan atau Penggelapan yang Dilakukan Direksi dapat berupa Sanksi pidana terhadap direksi yang diduga melakukan penipuan dapat mengacu pada Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
Sedangkan untuk tindak pidana penggelapan dapat diberikan sanksi pidana berdasarkan Pasal 372 KUHP, yaitu:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Maka untuk dapat dihukum direksi tersebut harus memenuhi unsur-unsur pidana sebagai berikut :
1. Direksi dapat dikatakan melakukan penipuan jika memenuhi unsur Pasal 378 KUHP, yaitu:
a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;
b. Memakai nama palsu/ martabat palsu;
c. Dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
d. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang/ memberikan hutang/ menghapuskan piutang.
2. Direksi dapat dikatakan melakukan penggelapan jika memenuhi unsur Pasal 372 KUHP, yaitu:
a. Barang/sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, telah ada padanya bukan karena kejahatan.
b. Barang tersebut dimaksudkan untuk dimiliki secara penuh secara melawan hukum.
Dari dua tindak pidana yang dilakukan Direksi tersebut, memang dimungkinkan terjadinya kerugian terhadap perusahaan. Tetapi untuk dapat dihukum, perlu adanya pembuktian di persidangan.
Kewenangan Komisaris menindak Direksi yang melakukan Tindak Pidana dalam hal salah seorang Direksi melakukan tindak pidana, Jika Direksi PT menjadi tersangka berpendapat bahwa pemegang saham dapat memutuskan apakah Direksi yang bersangkutan dapat terus menjabat sebagai Direksi, atau memberhentikannya sementara dalam jabatannya tersebut sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini tergantung pada kebijakan perusahaan.
Bagaimana bentuk kewenangan komisaris ? dalam hal ini Berikut penjelasannya:
Dewan Komisaris berdasarkan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) memiliki kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota direksi dengan menyebutkan alasannya dan dan diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan.
Bunyi selengkapnya Pasal 106 UUPT adalah sebagai berikut :
1. Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya.
2. Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan.
3. Anggota Direksi yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1).
4. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diselenggarakan RUPS.
5. Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
6. RUPS mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut.
7. Dalam hal RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara, anggota Direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.
8. Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari telah lewat RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diselenggarakan, atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian sementara tersebut menjadi batal.
9. Bagi Perseroan Terbuka penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (8) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Sebagaimana dijelaskan di atas dalam masa pemberhentian sementara ini, direksi tidak berwenang untuk melakukan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan tidak dapat mewakili perseroan didalam maupun di luar pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 106 UUPT tersebut dapat diketahui bahwa Dewan Komisaris dapat memberhentikan sementara anggota Direksi dan keputusan selanjutnya diserahkan pada Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”). Keputusan RUPS dapat menguatkan atau mencabut keputusan pemberhentian sementara.
Dalam terselenggaranya RUPS ini dimaksudkan untuk menguatkan atau mencabut pemberhentian sementara. Direksi yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri (dalam hal ini menyangkal seluruh hal yang dituduhkan kepadanya). Apabila RUPS menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut, direksi yang bersangkutan diberhentikan untuk seterusnya.
Mengenai pemberhentian Direksi oleh Dewan Komisaris ini, Yahya Harahap dalam buku Hukum Perseroan Terbatas (hal. 416) berpendapat, pada dasarnya pengangkatan maupun pemberhentian anggota Direksi hanya dapat dilakukan oleh RUPS dan merupakan perwujudan kekuasaan utama pemegang saham mengontrol Direksi.
Lebih lanjut Yahya Harahap (hal. 425) menjelaskan, bahwa hak dan kewenangan Dewan Komisaris hanya sebatas “memberhentikan sementara” (schorsing, suspension). Undang-undang tidak memberikan kepada Dewan Komisaris untuk memberhentikan anggota Direksi langsung dan bersifat permanen. Pemberhentian anggota Direksi oleh RUPS memerlukan waktu untuk pelaksanaannya, sedangkan kepentingan Perseroan tidak dapat ditunda, maka Dewan Komisaris sebagai organ pengawas wajar diberi kewenangan untuk melakukan pemberhentian sementara.
Jika seorang anggota Direksi melakukan kesalahan yang merugikan Perseroan, sangat beralasan untuk segera menghentikannya guna menghindari kerugian yang lebih besar.
Dasar Hukum :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Referensi:
• Yahya Harahap. 2016. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika;
(Sopiyan)