METROPOST1.COM, Selayar — Kabar duka menyelimuti warga dan keluarga masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi-Selatan yang kembali kehilangan salah seorang sosok putera daerah terbaiknya.
Sosok mantan anggota DPR/MPR-RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) untuk masa bhakti, 1999-2004 yang juga dikenal sebagai penggagas dan pendiri Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam, di Desa Ciburial, Dago, Bandung, pada tahun 1981, silam.
Sebuah Pondok Pesantren yang didominasi oleh santri dari keluarga miskin, kurang mampu, kaum tertindas, dan mustadh’afin dan atau kaum terpinggirkan yang kemudian dibebaskan dari segala bentuk iuran, biaya hidup, sampai dengan biaya pendidikan.
Sebelumnya, ia sempat mengenyam pendidikan dan meraih gelar sarjana jurusan sastra Arab, di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (FKSS) IKIP Bandung.
Setelah menyelesaikan pendidikan terakhir di IKIP Bandung, dia mulai fokus dan mengawali kiprah sebagai seorang figur mubalig, ulama, dan sekaligus cendekiawan, kelahiran, Provinsi Sulawesi-Selatan yang dikenal sebagai pencetus konsep Da’wah Kedah Kahartos Tur Karaos (dakwah harus dipahami dan dirasakan).
Berbagai jenis pekerjaan pernah dilakoninya dimulai dari profesi sebagai seorang guru SD, SMP, Madrasah, dan bahkan sempat melakoni pekerjaan sebagai tukang tembok, serta penjual terasi di Bandung.
Pria pemilik nama lengkap, Drs. K.H. Muchtar Adam, lahir di Selayar, pada tanggal, 10 September 1939 tersebut juga pernah tercatat sebagai salah seorang Kepala seksi Penerangan Agama, Kantor Departemen Agama, Kotamadya Bandung.
Karier Kepala seksi penerangan Agama, ia rintis dari bawah, sebagai seorang staf, di kantor yang sama.
Selain itu, dia juga sempat tercatat sebagai salah seorang dosen Luar biasa di lingkungan Universitas Pajajaran.
Namanya juga pernah tercatat sebagai sosok aktivis organisasi pelajar, kemahasiswaan, sampai pengurus yayasan, serta lembaga da’wah yang tergolong aktif dan produktif dalam penyebarluasan syariat Agama Islam melalui kegiatan publikasi karya tulis ilmiah.
Sebelum wafatnya, almarhum, KH. Muchtar Adam, sempat menulis dan mewariskan sedikitnya 44 buah buku, 18 naskah, berikut, 6 judul bukul yang ditulis bersama, salah satu diantaranya, buku berjudul :
Memantapkan Syahadatain (Dua Kalimat Syahadat) dan Makrifat yang diterbitkan oleh percetakan, Media Utama Bandung, pada sekitar tahun, 2014.
Kiprah almarhum tak berhenti sampai di situ, karena dalam masa pengabdiannya, sebagai anggota, DPR/MPR-RI, ia dikenal sebagai sosok wakil rakyat yang tergolong vokal dan ulet dalam mengawal, membahas, dan memperjuangkan RUU SISDIKNAS, sampai mendapat persetujuan, dan resmi ditetapkan menjadi UU No. 20 Tahun 2003 Tentang : SISDIKNAS.
Berbekal kekuatan, UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan pesantren dan majelis taklim resmi dinyatakan sebagai bahagian dari sistem pendidikan nasional.
Sebuah bentuk sumbangsih dan kontribusi berarti yang diilhami dari prinsip dasar almarhum, bahwa sesungguhnya esensi dakwah, tak lain dan tak bukan, Al Tarbiyah wa al ta’lim, pendidikan dan pengajaran berbasis Al-Quran.
Ini tercatat sebagai salah satu bentuk kiprah dan perjuangan penting almarhum, semasa aktif dan menduduki posisi sebagai anggota DPR/MPR-RI.
Almarhum, menghembuskan nafas terakhir pada sekira pukul, 22.03, hari, Selasa 6 Juli 2021, bertempat, di Rumah Sakit Muhammadiyah, Bandung, pada usia kurang lebih, 82 tahun.
Pimpinan Pondok Pesantren Al Qur’an Babussalam, AL Mukhtariyah, Desa Ciburial, Dago, Bandung, Jawa Barat tersebut, wafat, disebabkan karena penyakit serangan jantung dan paru yang diderita almarhum kembali kumat, dan mengharuskannya untuk menjalani perawatan intensif di rumah sakit, sampai akhirnya dinyatakan meninggal dunia.
dari rumah sakit, jenazah almarhum sempat disemayamkan di rumah duka, yang berada di dalam area, Pondok Pesantren Al Qur’an Babussalam, Desa Ciburial, Dago, Bandung, Jawa Barat dan dikebumikan pada sekira pukul 03.00, hari, Rabu, (7/7) dini hari, bertempat, di kompleks pemakaman keluarga, Ciburial Indah.
Almarhum, KH. Muchtar Adam pergi dengan meninggalkan seorang isteri, enam orang anak, tiga puluh satu cucu dan empat belas orang cicit.
Rasa sedih, duka, dan kehilangan, terasa begitu membekas, jika mengingat pesan, dan amanah penting yang sempat dititipkan almarhum bagi seluruh komponen masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar, untuk bahu membahu menyelamatkan Selayar dari perilaku buruk, dan praktik money politic yang telah bertahun-tahun merusak mental dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Bumi Tanadoang.
Pesan sarat makna ini dititipkan almarhum,
setahun kurang lebih, sebelum kemudian, ia dipanggil oleh Allah. ( Agus s )