
Bab 1
Namaku Rahayuni, Ku buat catatan harian ini bukan untuk mendapat rasa iba ataupun belas kasihan, tapi catatan ini aku buat berdasarkan hati nurani, yang membuktikan jika aku masih mampu bangkit meskipun dalam keterpurukan sekalipun. Kerinduanku kepada sosok seorang Ibu, mungkin akan tergambar dengan jelas dalam tulisan receh ini Dan kisahku, dimulai dari sini..
Entah sejak usia berapa tahun aku berada dalam pangkuan Ibu Tiri karena yang ku ingat, ibuku sudah tiada saat itu. Orang-orang bilang, ibuku telah lama meninggal karena mengidap penyakit kronis yang sulit untuk di sembuhkan. Ibu tiriku orangnya baik, bahkan bisa di bilang baik sekali. Sampai-sampai, ia sering mengacungkan centongan ke kepalaku saat ia marah, atau bahkan tak segan melukaiku meski aku belum begitu faham sekejam apa dunia ini.
Aku sering merasa iri bagi mereka yang masih memiliki keluarga lengkap, bahkan jika ibuku masih ada, aku berjanji akan menjadi anak yang paling penurut padanya, tak’kan ku sia-siakan kehadirannya. Ibu… Seandainya kau dapat hadir di sini, meski hanya sekejap saja. Aku teramat ingin memelukmu, merasakan kehangatan mu, meski hanya sedetik lamanya.
Kini aku telah memiliki seorang adik laki-laki dari ibu tiriku, Alfin namanya. Ia kerap pula menjadi mata-mata dalam setiap perjalananku menuju sekolah, bahkan tak segan-segan berita yang ia sampaikan pada ibu tiriku di bumbui dengan tambahan cerita karangan angannya sendiri.
Kadang aku merasa heran, kenapa Ayah tak pernah membela ku? Meski hanya sekedar kata-kata saja. Ayah… Apa aku tidak begitu penting bagimu? Apa kehadiran ibu dan anak baru, telah membuatmu lupa, bahwa akupun anakmu? Aku pun butuh perhatianmu. Terkadang ketika ibu tiri marah dan hendak memukulku, aku kerap kali berlari ke rumah Nenek. Di sana, sedikit banyaknya aku mendapatkan ketenangan.
“Kenapa lagi?” tanya Nenek padaku. Wanita itu sudah tampak renta.
“Tidak.” Aku selalu menyembunyikannya. “Aku cuma bosan di rumah, ingin bersama Nenek saja.” Meskipun Nenek sudah tahu dengan apa yang terjadi padaku sesungguhnya, karena tubuhku penuh dengan lebam.
“Apa ibu tirimu marah lagi?” tanya Nenek.
Kadang aku hanya terdiam jika Nenek bertanya demikian.
Tak banyak yang aku lakukan di sana. Paling, hanya melihat aktifitas yang nenek lakukan, itu pun tak banyak. Sekali-kali aku membantu seala kadarnya.
Pernah suatu ketika, aku mengadu pada nenekku tentang kekejaman ibu tiriku. Mungkin maksud nenekku itu baik, ia ingin supaya ibu tiriku mampu menerima ku layaknya anak sendiri, tapi apa yang aku dapatkan saat itu?
“Kamu ngadu ya sama nenekmu!” tiba-tiba ibu tiriku membentak. “Dasar anak pengadu! Fitnah! Bisa-bisanya kamu ngomong macam-macam sama nenekmu, apa maksud kamu kayak gitu?! Hah?!” sambil dia bertolak pinggang.
Aku hanya terdiam di pojok ruangan. Tak banyak kata yang terucap dari mulutku. Aku diam seribu bahasa, sambil mencengkeram baju yang ku kenakan. Berharap aku berani untuk melawan, tapi dayaku tak sanggup untuk melakukan semuanya.
“Dasar anak tak berguna!” bentaknya kemudian, “tuh lihat anakmu! Dia mengadu-ngadu aku, ngomong macam-macam sama ibumu!” katanya berarah ke Bapak yang hanya terdiam tanpa kata melihat aku yang di siksa tak berdaya.
Bapak hanya mematung, menunduk, yang lebih miris lagi ia kerap menghilang entah kemana. Pedih sekali aku melihatnya. Bapak tak sedikitpun membelaku… Oh… Aku tak berani bergerak sedikitpun, bahkan menangispun rasanya terlalu takut.
Kulihat ibu tiriku mulai mengambil centong itu, aku tahu persis apa yang hendak ia lakukan terhadapku. Tangan itu kembali mengacung, menghantamkan centong sayur ke tubuhku beberapa kali. Aduh, aku mengaduh kesakitan, mengatupkan kedua tangan, memohon ampun, namun tak sedikitpun ia hiraukan.
“Ampun, Bu… ampun… sakit, bu… sakit..” Sambil aku terisak berurai air mata.
“Anak tidak berguna! Sakit ini tak se banding dengan sakitnya di fitnah sama kamu! Harusnya kamu gak usah lahir ke dunia ini, bikin repot saja! Harusnya kamu nyusul ibumu sana!” Sambil membantingkan tubuhku ke lantai.
Aku ambruk dengan segala kesakitan di tubuhku. Bahkan mungkin yang lebih sakit lagi perasaan yang selalu ku usahakan tetap kuat menahan.
Oh… Sekujur tulang terasa sangat ngilu, aku raba setiap persendian yang terasa nyeri. Tak satupun tetangga di sekitar rumahku mencoba untuk menolongku, meski aku meraung dan menjerit kesakitan. Kadang aku meronta, berusaha untuk lari, namun ketika itu ibu tiriku sering menahan tubuhku sampai hatinya puas menyiksaku.
Ingin rasanya aku akhiri saja hidupku waktu itu, tapi… Selalu ada kata hati yang melarang ku untuk melakukannya.
Terkadang memang aku ingin waktu dapat ku putar kembali, ketika di mana ibu kandungku masih ada bersamaku. Memangku tubuhku, memanjakanku, atau bahkan sekedar mengepang rambutku seperti yang lain. Aku sungguh merindukan hal kecil yang berarti besar itu bagiku. Bu, tolong aku… aku merindukanmu..
Pulang sekolah, aku selalu di larang keluar rumah. Ibu tiri ku lebih senang aku menghabiskan waktu di rumah, sambil melakukan setiap apa yang ia suruh kan padaku.
Suara tawa anak-anak sebayaku, mengundangku untuk sekedar mengintip lewat jendela. Membayangkan aku turut bermain bersama mereka. Seketika air mataku mengucur, aku iri, aku ingin seperti mereka. Bebas bermain di kala usia dini. Suara tawa, dan raut senyum kebahagiaan, rasanya sulit sekali aku dapatkan.
Ingin rasanya aku berkata, “Bu… Aku mau main bersama mereka, aku ingin bebas..” Tapi selalu aku urungkan. Aku tahu, ibu tiriku tak segan-segan untuk menyiksaku kembali.
…
Di sekolah, tak jarang aku mencari perhatian dengan cara menjahili teman-teman sekolahku, hingga kerap membuat mereka kesal dan memusuhiku. Tapi aku tak hiraukan, biar kebebasan itu aku ciptakan sendiri. Toh jika sampai rumahpun, aku akan kembali di kurung layaknya budak belian di zaman jahiliyah.
Ya, nasib ku memang mengenaskan. Seingatku, ketika aku berusia 5 tahun dulu, tak pernah sekalipun ibu tiriku mengantarku ke posyandu, atau bahkan hanya sekedar mengantar sampai depan rumah saja rasanya tak pernah, ia selalu mendorongku, menyuruh untuk pergi ke posyandu sendiri. Di saat anak-anak lain berdandan rapi di kuncir oleh ibunya, hendak di timbang pun di pangku oleh ibunya, aku harus merelakan seorang bidan membantuku menaiki ayunan timbangan. Tubuhku berayun dalam timbangan, menyaksikan mereka yang duduk dalam pangkuan ibunya. Jika ada yang bertanya apakah aku sedih? Ya, aku teramat sedih. Bahkan bisa di bilang sangat sedih. Tapi aku harus kuat, aku akan terus kuat menjalaninya. Aku tak pernah sedikit menunjukan kesedihanku, meski kadang memar dan lebam mewarnai tubuh mungilku.
Saat jarum suntik vaksin itu menusuk lenganku, aku harap, ibuku datang memelukku, meski hanya sesaat kedatangannya. Dan lagi-lagi itu hanya merupakan angan-angan saja, yang kembali tak dapat terwujud. Di saat anak-anak lain mendapat pelukan semangat untuk di suntik, aku kembali hanya mendapat kepedihan yang sulit di gambarkan. Rasanya sakit suntikan itu tak sebanding dengan sakit hati atas kehidupan yang aku rasakan.
Sekumpulan anak itu mengerumuni penjual jajanan, mereka di belikan makanan ringan oleh ibunya masing-masing. Aku kembali hanya mampu menatap seolah ingin merebut jajanan itu, tapi beruntung mereka tak begitu menghiraukanku. Mereka hanya menganggapku sebagai angin lalu, dan seolah terbiasa dengan suara jerit tangis saat aku mengalami penyiksaan yang hebat, seolah itu sudah menjadi rutinitas yang di anggap biasa saja.
Aku kembali pulang menyusuri jalan tanah menghampar membiarkan kaki ku berpijak. Dimana tanah itu sumber ke ikhlasan, yang tak pernah terdengar protes meski di injak manusia setiap hari. Ya, mungkin aku harus belajar dari sana, belajar ikhlas, meski setiap hari mengalami penyiksaan.
***
Bersambung…
Author : Shintia Nursaleha
ASAL : Sukabumi, Kelahiran 07 Mei 1994
Profesi saat ini : Author di platform online.