
Bab 5
Entah sampai kapan penyiksaan ini akan terus berlanjut. Pagi itu, Bapakku pamit hendak pergi cari kerja ke Kota, karena ibu tiriku selalu mengomel tak ada pemasukan. Mungkin Bapak lelah di omeli Ibu terus-menerus. Aku bersembunyi menyaksikan Bapak berpamitan sama Ibu. Ingin rasanya aku berlari, memeluk Bapak, dan mengatakan “Pak, jangan pergi!”
Ingin rasanya aku menangis dalam pelukannya, merasakan belaian kasih sayangnya, sambil aku mengadukan semua keresahan dalam hatiku. Namun hal itu sangat tidak mungkin. Bapak pasti tak akan perduli terhadap penderitaan ku, karena memang itulah yang sering terjadi.
Yang aku takutkan saat itu, ibu tiriku akan lebih leluasa lagi menyiksaku. Benar saja, baru Bapak beberapa langkah meninggalkan rumah, seringai kejahatan itu kembali aku rasakan. Aku mengkeret di kamar, dalam kesendirian. Tak berani pergi keluar, walau hanya sekedar bercengkrama kecil bersama teman-teman.
Bapak, apakah ketika Allah menitipkan aku di rahim Ibu, kebahagiaan tak di rasakan mu? Sehingga tiada harga nya aku sebagai anakmu di matamu. Bahkan, terkadang Nenek, yang merupakan Ibumu, seolah ia tidak mau menerimaku di kala aku susah. Ketika aku mengadu, nenek selalu kembali mengatakan pengaduanku pada ibu tiri, hingga habislah tubuhku di siksa nya. Pak, ibu tiri memang baik, bahkan ia akan sangat baik di hadapan orang banyak, di hadapan orang yang tak banyak tahu perihal perbuatannya padaku. Kau hanya mampu mencaci ibu tiri di belakangnya, tapi di hadapannya, kau kembali tertunduk. Ada apa sebenarnya Pak? Apa salah ku? Apa kelahiran ku ke dunia ini juga termasuk salah? Terkadang aku bertanya pada Tuhan, kenapa aku harus di lahir kan? Jika kondisi nya akan seburuk ini, akan semengerikan ini. Aku sakit Pak, bukan hanya jiwaku, tapi ragaku.
Seketika aku menangis dalam kelam. Seolah hati ini tengah menoreh tinta di atas kertas. Jika ku tuai perasaanku ke atas kertas, entah sudah berapa lembar yang ku habiskan setiap harinya. Biarlah Tuhan yang mencatat kisah ku, hingga air mata ini mampu menjadi tinta suci sebagai saksi nantinya.
…
Hari berlalu, penyiksaan demi penyiksaan itu tak pernah terlewati meski hanya sehari, sudah menjadi rutinitas yang biasa aku hadapi.
“Ya Allah.. kuatkan aku ya Allah.. aku harus kuat ya Allah…”
Kata-kata itu yang keluar dari mulutku, sambil tak henti ibu tiriku memukuli tubuhku. Aku gemetar, semakin sakit dan pedih kehidupan yang aku alami. Aku pandang tongkat yang terus mengayun ke tubuhku, aku berharap dalam tangis, Tuhan selalu kuatkan aku.
Entah bagaimana, anak sekecil aku saat itu, sudah mengerti bagaimana berdoa kepada Tuhan. Berharap segala penderitaan ini berakhir dengan segera. Ia hempaskan tubuhku ke lantai saat ia sudah merasa puas menyiksaku. Aku cengkeram kepalaku, oh… Serasa rambut ini hendak copot semua. Tanganku merasakan darah merembes keluar dari pori-pori kepalaku.
Telinga ku, oh… Sakit sekali. Aku raba telingaku bekas di tarik tadi, masih ada.
Apa salah ku sebenarnya? Kenapa ibu tiriku begitu membenci aku? Aku menyeka air mata dan ingus yang sesekali mengalir. Aku berlindung pada dinding tempat aku bersandar. Ku peluk lututku, sambil merasakan kaki ku yang tampak memar dan lebam bekas di pukuli tadi.
Sakit.. oh.. aku mendongak menatap atap rumah, seolah aku menyalahkan Tuhan. Aku meringis, hatiku meronta, hatiku menjerit, hatiku meraung. Aku ingin bahagia…
Sesak nafas ku rasakan, mana kala punggung ini terasa sakit bekas pukulan. Rasanya ia tak mau melewatkan menyiksa tubuhku meski hanya se centi saja.
…
Siang itu, sepulang sekolah, entah apa yang telah di adukan adik tiriku pada ibunya.
Aku yang baru saja sampai, belum selesai membaca salam, sudah di sambut dengan wajah yang garang sambil bertolak pinggang. Aku di tariknya dengan kasar, alat pemukul sudah di genggamnya.
Aku kembali merintih minta ampun pada saat ibu tiriku kembali menghantamkan bentuk kasih sayangnya. Ia menyayangiku, dengan cara menyakitiku.
Pada saat aku sudah tidak kuat dengan penyiksaan nya, aku meronta ingin melepaskan diri, sungguh sakit cengkeramannya. Aku berusaha melepaskan diri, hingga aku berlari keluar, menuju rumah Abu.
Di sana, di rumah Abu. Aku memburu pelukannya. Aku menangis di sana. Abu hanya mampu turut menangis sambil membelai kepalaku, meratapi nasibku.
Kenapa harus seperti ini? Apa dunia memang sekejam ini? Abu seolah turut merasakan apa yang aku rasakan. Ingin rasanya kasih sayang ini aku dapatkan dari ibu kandungku, dari Ayah kandungku, atau bahkan jika bisa, dari Ibu tiriku. Apa bisa ya Tuhan?
Aku terisak dalam pelukan, merengek dengan segudang pertanyaan yang meliputi seluruh hatiku. Aku tidak mengerti, kenapa Ibu tiriku begitu kejam padaku?
Sering kali aku melihat ia Ibu tiriku menyaksikan film drama Bawang Merah dan Bawang Putih. Ia sangat menyukai film penyiksaan itu. Entah mungkin ia terobsesi dengan film itu, karena adegan penyiksaan di dalam film itu, tak jauh beda dengan apa yang ia lakukan padaku.
…
Hari berganti, tahun berlalu. Aku sudah menginjak usia puber. Aku bersekolah di MTS pada saat itu. Entah mengapa, penyiksaan demi penyiksaan seolah membuatku kebal saat ini.
Beruntung, di sekolah aku memiliki teman-teman yang sangat menyayangiku. Kerap kali kebahagiaan itu aku dapatkan dari mereka.
Di sekolah, seolah menjadi tempat aku mendapat ketenangan setelah berbagai penyiksaan itu telah membuatku menjadi wanita yang kuat, namun aku rapuh dalam hal tertentu.
Tak ada satu pun di antara teman-temanku yang tahu seperti apa penderitaan yang aku alami. Aku selalu menyembunyikan nya di balik senyumanku serta candaan yang aku lontarkan bersama teman-temanku. Aku tak mau membahas penderitaanku di sini, aku hanya ingin bahagia, melupakan segalanya walau hanya sejenak saja.
Canda tawa teman-temanku, seolah menjadi penghibur duka lara di saat kebahagiaan itu tak mungkin aku dapatkan. Kerap kali aku tak ingin sekolah ini berakhir, karena aku tak ingin pulang dan melewati di rumah dengan banyak penyiksaan.
…
Entah apa sebabnya, ibu tiriku marah hebat kali ini. Dia tak segan memukuli aku lebih keras dari biasanya, tanpa sebab masalah yang pasti. Aku tahan sakit pukulan itu, aku diam saja.
Semakin lama semakin keras, semakin kalap ia memukuli ku. Aku mulai menutup kepala ku dengan kedua tanganku, berharap ia dapat mengampuni ku. Namun ia nampaknya tak sedikit pun punya rasa iba padaku. Penyiksaannya semakin keras, hingga hidungku terasa terhantam sesuatu yang keras. Ku lihat tangan ibu tiri ku berdarah, seiring dengan hangatnya darah mengocor dari hidungku.
Seketika kepalaku terasa pusing, pandangan terasa buram. Aku berteriak meminta tolong sambil berlari ke arah dapur tanpa sadar, berusaha membuka pintu, dan.. ah, pintu nya di kunci. Darah itu mengocor semakin deras. Aku gedor-gedor pintu itu, sambil aku berteriak minta tolong, merasakan pusing di kepalaku semakin hebat.
Ketika Ibu tiriku hendak menghampiri ku, aku berlari meski ia berusaha mencengkeram tubuhku. Aku berusaha melepaskan diri, keluar lewat pintu depan, berlari sekuat tenaga, meski ia mengejarku dari belakang sambil membawa tongkat yang tadi di gunakannya untuk memukuli ku. Tampak dari belakang seseorang menahan Ibu tiriku, dan aku di boyong seorang saudara dari Ibu kandungku.
***
Bersambung…